CV.SOLUSI KITA Jasa Konsultan Akuntansi Pajak Terpercaya
Indonesia sebagai produsen emisi karbon dioksida (CO2) 10 besar di dunia tepatnya berada di posisi ke-6 dari sektor energi dengan total emisi sebesar 691,97 juta ton pada tahun 2022 menurut laporan dari Energy Institute dan terbukti meningkat 18.3% pada tahun 2022 yang termasuk peningkatan tertinggi di antar negara-negara lain berdasarkan informasi dari tim ilmuwan Global Carbon Project.
Emisi karbon memicu krisis iklim global, menyebabkan pemanasan global, perubahan iklim, dan peningkatan suhu permukaan laut. Dampaknya meliputi peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam seperti kebakaran hutan, hujan lebat, dan badai. Hal ini tidak hanya mengancam kepunahan keanekaragaman hayati, tetapi juga mengganggu ekosistem, menghambat produktivitas pertanian, dan membahayakan kesehatan serta kehidupan manusia di seluruh dunia. Penurunan kualitas udara, perubahan pola cuaca, dan gangguan pada sumber daya air juga merupakan konsekuensi yang memperburuk situasi ini.
Untuk menunjukkan kesadaran dunia terhadap dampak perubahan iklim. Seluruh negara sepakat memperbaiki kondisi tersebut dengan mengeluarkan Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim (The United Nations Framework Convention On Climate Change/UNFCCC) pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1992 kerjasama global ini kemudian disepakati dalam dokumen kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) dengan tujuan untuk mencapai keseriusan net zero emission dan memenuhi komitmen terhadap Paris Agreement (2015). Sebagai bagian dari komitmen ini, Pemerintah Republik Indonesia membuat langkah pengendalian melalui Pembangunan Rendah Karbon yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2020-2024.
Bentuk andil Indonesia dalam mengurangi emisi karbon untuk mencapai net zero emission dengan menerapkan pigouvian tax atau pajak yang dikenakan pada barang-barang yang produksinya atau konsumsinya dapat merusak lingkungan. Pajak karbon sebagai salah satu bentuk pigouvian tax yaitu pajak yang dikenakan pada penggunaan bahan bakar yang berbasis karbon atau yang menghasilkan emisi karbon. Objek pajak karbon ini meliputi bahan bakar fosil dan emisi yang dihasilkan oleh industri atau kendaraan bermotor seperti batubara, solar dan bensin
Pajak karbon diatur dalam UU HPP pasal 13 ayat (5) menyebutkan bahwa pajak karbon dikenakan atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan karbon dalam jumlah tertentu selama periode tertentu (Undang Undang RI, 2021). Tarif pajak karbon di Indonesia ditetapkan dalam Pasal 13 ayat (8) dan (9) UU HPP dimana tarif pajak karbon ditetapkan setara atau lebih tinggi dari harga pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Jika harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp.30 per kilogram CO2e, maka tarif pajak karbon minimal adalah Rp.30 per kilogram CO2e atau satuan yang setara (Undang-Undang RI, 2021).
Penerapan pajak karbon ini sudah diterapkan bertahap, berdasarkan pemaparan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam RUU HPP yang disahkan menjadi UU HPP ini. Berikut penjelasannya:
- 1 April 2022
- Pajak karbon mulai diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara
- Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp30 per kilogram CO2e
- Mekanisme yang digunakan adalah cap and tax yaitu ada batas emisi yang ditetapkan dan emisi yang melebihi batas tersebut yang akan dikenakan pajak
- 26 September 2023
- Indonesia mengeluarkan Bursa karbon melalui platform IDX Carbon (Indonesia Carbon Exchange)
- Bursa ini memperdagangkan surat berharga terkait emisi, seperti Persetujuan Teknis Batas atas Emisi-Pelaku Usaha (PTBAE-PU) dan Sertifikat Pengurangan Emisi-Gas Rumah Kaca (SPE-GRK)
- Langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk mengembangkan pasar karbon dan memperkuat mekanisme perdagangan emisi di Indonesia.
- Tahun 2025
- Implementasi pajak karbon akan diperluas ke sektor-sektor lain di luar PLTU batubara.
- Penerapan pajak karbon dilakukan secara penuh dengan memperluas cakupan sektor sesuai dengan kesiapan masing-masing.
- Penetapan aturan pelaksana tata laksana pajak karbon (cap and tax) untuk sektor lainnya.
Dokumen KEM-PPKF 2022 menunjukkan bahwa beban pengenaan pajak karbon lebih condong ditanggung oleh konsumen yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dioksida atau menghasilkan emisi karbon lebih tepatnya pajak karbon dibayar oleh pembeli melalui penjual sementara penjual hanya mempunyai kewajiban menyetorkan pajak karbon dari pembeli tersebut ke Ditjen Pajak. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas, berikut contoh kasus yang mudah dipahami mengenai pajak karbon :
Sebuah PT. Listrik, menjual listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik berbasis batubara dan PT. Manufaktur membeli 1 MWh dengan harga Rp 1.000.0000 kepada PT. Listrik. Emisi karbon yang dihasilkan dari pembelian 1 MWh mengeluarkan sebanyak 0,5 ton CO2e. Berdasarkan perhitungan pajak karbonnya adalah :
Tarif Pajak Karbon | = Rp30 per kg CO2e |
Pajak Karbon | = Satuan berat x Tarif per kg |
Pajak Karbon Terhitung | = 500kg (0,5 ton) x Rp30 |
= Rp. 15.000 |
- Maka total tagihan PT. Manufaktur yang harus dibayar kepada PT. Listrik sebesar Rp 1.000.000 (harga listrik) + Rp 15.000 (pajak karbon) = Rp 1.015.000. Setelah itu, PT Listrik menyetorkan pajak karbon sebesar Rp 15.000 yang diterima dari PT. Manufaktur ke Ditjen Pajak.
- Adanya peningkatan biaya listrik (karena pajak karbon) dan pemakaian listrik dalam proses produksi barangnya pada PT. Manufaktur sehingga terjadi peningkatan biaya produksi mereka dan dampaknya PT. Manufaktur harus menaikkan harga produknya untuk menutupi biaya produksi yang lebih tinggi.
- Konsumen akhir atau yang membeli produk dari PT. Manufaktur harus membayar lebih mahal karena kenaikan harga produk.
Dari contoh kasus diatas, pajak karbon tidak hanya mempengaruhi penjual tetapi juga mempengaruhi seluruh rantai pasokan hingga konsumen akhir. Kondisi ini disebut dengan efek ganda dari sebuah kebijakan baru. Penerapan pajak karbon pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia memiliki beberapa dimensi yang perlu diperhatikan karena dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek tetapi dampak buruk tersebut mampu diatasi jika kebijakan ini didesain tepat, dukungan pemerintah yang kuat serta adanya mekanisme transisi yang adil bagi sektor industri yang terdampak.
Capaian realisasi dari gerakan net zero emission pada tahun 2030 tingkat emisi turun sebanyak 29% hingga 41%. Berdasarkan informasi penelitian menunjukkan bahwa penerapan pajak karbon dapat efektif menurunkan jumlah emisi karbon di berbagai negara. Berikut tabel data penerapan pajak karbon pada negara lain :
No | Penulis | Negara | Dampak Penerapan Pajak Karbon |
1. | Tseng (2022) | Singapura | Menunjukkan pengurangan marginal sebesar 0,29 juta tCo2 pada tahun 2019 |
2. | Gugler et al. (2022) | Inggris | Penurunan secara substansial sebesar 37,6 juta tCo2 selama tahun 2013-2015 |
3. | Zhu & Lin (2022) | China | Mengurangi emisi karbon pada Industri Pertambangan dan meningkatkan Energy & Carbon Performance (ECP) |
4. | Pretis (2022) | Kanada | Mengurangi emisi karbon sebesar 19% dari sektor transportasi dalam jangka panjang |
5. | van der Ploeg et al. (2022) | Jerman | Menurunkan emisi karbon dari sektor rumah tangga sebesar 26% |
6. | Andersson (2019) | Swedia | Penurunan jumlah emisi karbon sebesar 40% pada tahun 2005 dan tidak berimplikasi negatif bagi ekonomi |
7. | Al-Amin et al. (2009) | Malaysia | Mampu meningkatkan pendapatan pemerintah sebesar 26,67% dan menghasilkan dampak lingkungan yang cukup baik. |
Dengan melihat keberhasilan negara-negara tersebut, Indonesia yang akan menerapkan pajak karbon secara keseluruhan pada tahun 2025 dapat mengambil langkah optimis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi hijau dan berkelanjutan. Pengalaman negara lain menunjukan bahwa dengan kebijakan yang tepat dapat mencapai net zero emission tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Pengaturan pajak karbon di Indonesia melalui UU HPP akan mendorong pelaku usaha dan masyarakat untuk beralih ke aktivitas ekonomi hijau yang rendah emisi karbon atau menggunakan energi baru terbarukan (EBT).
Namun menilik dari aspek lingkungan, di kala beberapa negara telah mengimplementasikan kebijakan karbon, Indonesia mengatur kebijakan harga karbon terendah. Kalkulasinya jika tarif pajak karbon Indonesia dibandingkan dengan negara lain:
Tarif Pajak Karbon UU HPP | = 30.000 |
Kurs USD ke Rupiah | = 16.275 |
Tarif Pajak Karbon | = US$ 1,84 |
Tabel tarif pajak karbon negara-negara di dunia per April 2021 yang dirilis oleh The World Bank (Besaran tarif pajak karbon bersifat fluktuatif dan dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu)
No | Negara | Tarif Pajak Karbon | Satuan |
1 | Swedia | US$137.24 | Per ton emisi karbon |
2 | Swiss | US$101.47 | Per ton emisi karbon |
3 | Liechtenstein | US$101.47 | Per ton emisi karbon |
4 | Finlandia | US$72.83 & US$62.25 | per ton emisi karbon untuk bahan bakar transportasi & per ton emisi karbon bahan bakar fosil lainnya |
5 | Norwegia | US$69.93 – US$3.87 | Per ton emisi karbon |
6 | Prancis | US$52.39 | Per ton emisi karbon |
7 | Luksemburg | US$40.12 & US$23.49 | per ton emisi karbon untuk bensin & per ton emisi karbon bahan bakar fosil |
8 | Irlandia | US$39.35 | Per ton emisi karbon untuk bahan bakar transportasi |
9 | British Columbia (BC) | US$35.81 | Per ton emisi karbon |
10 | Belanda | US$35.24 | Per ton emisi karbon |
11 | Islandia | US$34.38 & US$23.65 | per ton emisi karbon untuk bahan bakar fosil & per ton emisi karbon untuk gas berfluorinasi |
12 | Kanada | US$31.83 | Per ton emisi karbon |
13 | New Brunswick | US$31.83 | Per ton emisi karbon |
14 | Portugal | US$28.19 | Per ton emisi karbon |
15 | Denmark | US$28.14& US$23.65 | per ton emisi karbon untuk bahan bakar fosil & per ton emisi karbon untuk gas berfluorinasi |
16 | Inggris | US$24.80 | Per ton emisi karbon |
17 | Newfoundland & Labrador | US$23.88 | Per ton emisi karbon |
18 | Teritori Barat Laut | US$23.88 | Per ton emisi karbon |
19 | Price Edward Island | US$23.88 | Per ton emisi karbon |
20 | Slovenia | US$20.32 | Per ton emisi karbon |
21 | Spanyol | US$17.62 | Per ton emisi karbon |
22 | Latvia | US$14.10 | Per ton emisi karbon |
23 | Tamaulipas | US$12.72 | Per ton emisi karbon |
24 | Zacatecas | US$12.23 | Per ton emisi karbon |
25 | Afrika Selatan | US$9.15 | Per ton emisi karbon |
26 | Argentina | US$5.54 | per ton emisi karbon untuk hampir semua bahan bakar |
27 | Chile | US$5.00 | Per ton emisi karbon |
28 | Kolombia | US$5.00 | Per ton emisi karbon |
29 | Singapura | US$3.71 | Per ton emisi karbon |
30 | Meksiko | US$3.18 – US$0.36 | Per ton emisi karbon |
31 | Jepang | US$2.61 | Per ton emisi karbon |
32 | Estonia | US$2.35 | Per ton emisi karbon |
33 | Indonesia | US$1.84 | Per ton emisi karbon |
34 | Ukrania | US$0.36 | Per ton emisi karbon |
35 | Polandia | US$0.00 | Per ton emisi karbon |
Jika tarif pajak karbon di Indonesia terlalu kecil, hal ini akan menjadi boomerang bahwa penerapan pajak karbon tidak dapat dilihat sebagai strategi yang efektif dalam hal lingkungan yang berkelanjutan. Adanya pengenaan pajak yang cukup terjangkau dapat membuat setiap pelaku usaha untuk memperbesar produksi mereka.
Menurut estimasi pemerintah menggunakan data SUSENAS 2019, penyaluran 30% dana dari pajak karbon kepada masyarakat berpenghasilan rendah dapat meningkatkan kemampuan ekonomi mereka sebesar 0,5% dari penghasilan. Simulasi menunjukkan bahwa dengan tingkat pajak yang rendah, pemerintah dapat mengurangi dampak sosial dari pajak karbon pada masyarakat berpenghasilan rendah. Pajak karbon diharapkan dapat mendorong penggunaan energi hijau yang semakin meluas di industri manufaktur dan rumah tangga.
Dalam Naskah Akademik RUU KUP, pemerintah mengkaji dampak penerapan pajak karbon terhadap keuangan negara dengan mensimulasikan tarif pada konsumsi bahan bakar di sektor pembangkit, industri, transportasi, dan plastik. Hasilnya, dengan menggunakan data konsumsi tahun 2020 dan asumsi penggunaan batu bara di sektor pembangkit listrik dan industri serta solar dan bensin di sektor transportasi, pemerintah dapat meraup Rp 31,91 triliun untuk penerimaan negara. Implementasi pajak karbon akan mengakibatkan harga energi menjadi lebih tinggi secara teknis, dan efektivitas penerapannya bergantung pada besaran tarif yang dikenakan. Hasil simulasi yang dilakukan dalam penyusunan Naskah Akademik RUU KUP menunjukkan bahwa pajak karbon memberikan tekanan negatif pada perekonomian. Jika kebijakan tersebut dijalankan tanpa tindakan lanjut yang terukur, maka akan menyebabkan tekanan negatif pada semua variabel makroekonomi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB), konsumsi riil, dan tenaga kerja diprediksi akan lebih rendah. Output nasional diperkirakan akan tumbuh 0,06% lebih rendah dibandingkan kondisi normal atau business as usual (BAU) pada tahun 2022, meskipun penerapan pajak karbon dilakukan secara bertahap yakni US$ 3 per ton CO2e pada tahun 2022, US$ 6 per ton CO2e pada tahun 2023, dan US$ 12 per ton CO2e pada tahun 2024. Selain itu, dengan peningkatan tarif pajak pada tahun 2023 dan 2024, kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan pajak karbon diprediksi akan semakin besar menjadi 0,12% dan 0,29% lebih rendah dibandingkan kondisi BAU pada kedua tahun tersebut. Pada periode-periode selanjutnya, meskipun tarif pajak karbon tetap pada level US$ 12 per ton CO2e, dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi tidak hilang, bahkan diperkirakan akan semakin besar. Pada tahun 2030, ekonomi Indonesia diprediksi akan tumbuh 0,58% lebih rendah dibandingkan kondisi BAU jika Indonesia menerapkan pajak karbon tanpa adanya tindakan lanjutan.
Dampak yang lebih besar diprediksi akan terjadi pada konsumsi riil, di mana kebijakan pajak karbon diperkirakan akan membuat konsumsi riil jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi BAU. Konsumsi riil diprediksi akan 0,417% lebih rendah dibandingkan dengan kondisi BAU pada tahun 2022, dan kesenjangan tersebut akan terus melebar hingga mencapai 1,97% pada tahun 2030. Seiring dengan peningkatan pajak karbon pada tahun 2023 sebesar dua kali lipat, konsumsi riil diperkirakan akan terkoreksi hampir dua kali lipat, yaitu sebesar 0,842% lebih rendah dibandingkan dengan kondisi BAU. Selain itu, tingkat employment di Indonesia diperkirakan akan turun sebesar 0,17% dibandingkan dengan kondisi BAU pada tahun 2022. Mengingat potensi dampak negatif terhadap tiga variabel kunci makroekonomi, kebijakan pajak karbon membutuhkan tindak lanjut, sebagaimana dikutip dalam NA RUU KUP.
Menurut Handoyo (2021), penerapan pajak karbon di Indonesia akan meningkatkan biaya produksi di berbagai industri, termasuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan industri semen. Pada industri TPT, kenaikan biaya produksi mencapai 9,25%. Sementara itu, industri semen, yang bergantung pada batubara, juga akan berpengaruh secara signifikan. Sektor pertambangan, termasuk aluminium, baja, dan nikel, juga akan terdampak. Pajak karbon dapat mengakibatkan relokasi produksi ke negara tanpa pajak karbon, perubahan harga komoditas, dan hambatan pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Harga jual barang yang naik akan menurunkan daya beli masyarakat dan menghambat ekspansi bisnis dalam negeri. Selain itu, masyarakat berpenghasilan rendah, terutama di sektor pertanian, akan berdampak negatif karena masih banyak petani yang menggunakan pupuk beremisi karbon tinggi.
Maka dari itu, alternatif penggunaan karbon emisi menjadi energi terbarukan (EBT) juga patut dipertimbangkan untuk menjadi jalan keluar. Untuk mendukung peralihan ke Net Zero Emission menggunakan energi baru terbarukan (EBT), pemerintah dapat memberikan insentif seperti subsidi atau kredit pajak bagi industri yang mengadopsi teknologi ramah lingkungan. Pengembangan infrastruktur EBT seperti tenaga surya, angin dan biomassa. Investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi EBT bisa mempercepat transisi ke ekonomi yang lebih hijau dalam jangka panjang untuk mendorong komitmen industri dan mengurangi emisi karbon.