Data Konkret dalam Perpajakan: Pengertian, Sumber, dan Contoh Kasus Nyata
Pendahuluan
Dalam praktik perpajakan di Indonesia, data konkret memegang peran penting sebagai dasar tindakan hukum Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Data ini menjadi pembeda antara informasi yang masih berupa dugaan (data indikasi) dengan bukti yang benar-benar dapat digunakan untuk penetapan pajak. Artikel ini membahas pengertian, sumber, perbedaan dengan data indikasi, serta contoh penerapannya dalam pemeriksaan dan penagihan pajak.
Apa Itu Data Konkret?
Data konkret adalah data faktual yang:
- Memiliki bukti fisik atau dokumen resmi.
- Dapat diuji kebenarannya.
- Bersumber dari pihak yang sah.
- Relevan untuk menghitung atau membuktikan adanya pajak terutang.
Data konkret digunakan oleh DJP untuk:
- Mengirimkan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan).
- Melakukan pemeriksaan pajak.
- Menerbitkan ketetapan pajak (SKPKB, SKPKBT).
- Melakukan penagihan pajak sesuai Pasal 13A UU KUP.
Sumber Data Konkret
Data konkret dapat diperoleh dari:
- Perbankan – mutasi rekening, laporan saldo, data transaksi.
- Pihak ketiga – data penjualan dari marketplace, laporan vendor, bukti potong pajak.
- Instansi pemerintah – data impor/ekspor dari Bea Cukai, data aset dari BPN, laporan OJK.
- Internal Wajib Pajak – kontrak kerja, faktur pajak, laporan keuangan resmi.
- Sumber DJP – hasil pemeriksaan sebelumnya, equalization data PPN/PPh.
Perbedaan Data Konkret dan Data Indikasi
Aspek | Data Konkret | Data Indikasi |
---|---|---|
Sifat | Bukti nyata, dokumen resmi, dapat diuji dan dikonfirmasi | Dugaan atau hasil analisis yang butuh verifikasi lebih lanjut |
Contoh | Rekening koran, faktur pajak, surat keterangan dari pihak ketiga | Rasio laba tidak wajar, anomali omzet, perbandingan SPT dengan data industri |
Kekuatan Hukum | Dapat langsung digunakan sebagai dasar penetapan pajak | Hanya sebagai dasar awal klarifikasi atau pemeriksaan |
Proses Lanjutan | Dapat diterbitkan SKP atau penagihan langsung | Perlu klarifikasi dan pembuktian tambahan |
Contoh Kasus Nyata Penggunaan Data Konkret
Kasus 1 – Data Konkret dari Bank
- Skenario: Wajib Pajak Badan melaporkan omzet Rp2 miliar di SPT Tahunan.
- Temuan DJP: Data mutasi rekening menunjukkan pemasukan Rp4,5 miliar.
- Tindak Lanjut: DJP mengirimkan SP2DK dengan melampirkan bukti mutasi rekening sebagai data konkret, meminta klarifikasi selisih Rp2,5 miliar.
Kasus 2 – Data Konkret dari Bea Cukai
- Skenario: Perusahaan hanya melaporkan penjualan domestik.
- Temuan DJP: Data PIB dari Bea Cukai menunjukkan impor barang senilai Rp1,2 miliar tanpa pelaporan PPN.
- Tindak Lanjut: DJP menerbitkan SKPKB PPN berdasarkan data PIB tersebut.
Kasus 3 – Data Konkret dari Pihak Ketiga
- Skenario: Pengusaha restoran melaporkan omzet Rp500 juta.
- Temuan DJP: Data dari platform food delivery menunjukkan omzet transaksi online mencapai Rp650 juta.
- Tindak Lanjut: DJP mengirim SP2DK dengan lampiran data penjualan online sebagai data konkret.
Kesimpulan
Data konkret adalah bukti nyata yang sah dan dapat diuji, sehingga memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan dasar penetapan pajak. Berbeda dengan data indikasi yang masih memerlukan pembuktian tambahan, data konkret dapat langsung digunakan dalam pemeriksaan maupun penagihan pajak. Memahami jenis dan sumber data konkret membantu Wajib Pajak mempersiapkan dokumen serta mengantisipasi risiko koreksi pajak di masa depan.